Jumat, 16 November 2012

Keserhanaan Umar bin Abdul Aziz




          Seorang perempuan Mesir datang ke Damaskus karena ingin bertemu dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz.  Dia bertanya-tanya, di manakah istana khalifah?  Setiap orang yang ditanyanya selalu menunjukkan ke arah yang sama, yaitu sebuah rumah yang sangat sederhana, jauh dari kesan mewah.
          Sampai di rumah yang dimaksud, perempuan Mesir itu  bertemu dengan seorang perempuan yang memakai pakaian lusih dan jelek. Tidak jauh dari perempuan itu, terlihat seorang lelaki sedang bergelimang tanah karena memperbaiki rumahnya.

        Perempuan Mesir itu bertanya setengah ragu, "Apakah di sini istana Khalifah Umar bin Abdul Aziz?"
"Benar,  "Jawab perempuan berbaju lusuh itu
"Siapakah engkau?" tanya perempuan Mesir lagi
"Aku .. Fathimah binti Abdul Malik, istri khalifah," jawab perempuan berbaju lusuh

         Saat mengetahui bahwa perempuan di hadapanya adalah Fathimah istri khalifah, perempuan Mesir itu terkejut luar biasa.  Mana mungkin, seorang permaisuri khalifah yang berkuasa memakai baju sejelk itu?
Dia merasa takut sekaligus kagum.  Akan tetapi, Fathimah pandai melayani sehingga tamu itu merasa suka dan tenang hatinya.

"Lalu, mengapa engkau tidak menutup diri dari lelaki tukang pasir itu?" tanya perempuan Mesir itu kepada Fathimah.
"Karena tukang angkut pasir itulah suamiku, Khalifah Umar bin Abdul Aziz, "jawab Fathimah sambil tersenyum.
Sekali lagi , tamu itu terkejut dan beristigfar.




Sang Sufi




                Seorang ulama sifi bernama Nidzam Al-Mahmudi tinggal di sebuah kampung terpencil, dalam sebuah sebuah gubuk kecil. Dia bersama istri dan anak-anaknya hidup dengan sangat sederhana.  Biarpun hidup dalam kesederhanaan, semua anaknya cerdas dan berpendidikan.

              Selain penduduk kampung itu, tidak ada yang tahu bahwa Midzan  Al-Mahmudi mempunyai kebun yang luas berhektar-hektar dan perniagaan yang maju di kota-kota besar. Dengan kekayaannya itu, dia bisa menghidupi ratusan keluarga yang bergantung kepadanya.

             Tingkat kesejahteraan para pegawainya bahkan jauh lebih tinggi ketimbang sang majikan. Namun Midzan Al-Mahmudi merasa bahagia dan damai menikmati perjalanan usianya.
"Mengapa ayah tidak membangun rumah yang besar dan indah?" tanya anaknya.
"Ada beberapa sebab mengapa ayah lebih suka menepati sebuah gubuk kecil, "jawab sang sufi,
"Pertama. karena betapapun besarnya rumah kita, yang kita butuhkan ternyata hanya tempat duduk dan berbaring.
             Rumah besar sering menjadi penjara bagi penghuninya.  Seharian, dia cuma mengurung diri sambil menikmati keindahan istananya.  Dia jauh dari masyarakatnya. Dia pun jauh dari alam bebas yang indah ini.  Akhibatnya, dia akan kurang bersyukur kepada Allah,"

             "Kedua, dengan menepati sebuah gubuk kecil, kalian akan cepat dewasa. Kalian ingin segera memisahkan diri dari orang tua supaya bisa menghuni rumah yang lebih luas.  Ketiga, kami dahulu hanya berdua, ayah dan ibu.  Kelak, akan berdua lagi setelah semua anak a berumah tangga.  Jika ayah dan Ibu menepati rumah yang besar, bukankah suasana sepi akan terasa lebih menyiksa?"

             Alangkah bijaknya sikap sang ayah yang tampak lugu dan polos itu. Dia seorang hartawan yang kekayaannya melimpah. Akan tetapi, keringatnya setiap hari selalu bercucuran. Dia ikut mencangkul dan menuai hasil kebunnya.
           "Anakku, jika ayah membangun sebuah istana indah, biayanya terlalu besar.  Biaya sebesar itu, kalau ayah pakai membangun rumah-rumah yang memadai untuk tempat tinggal, berapa banyak gelandangan bisa terangkat martabatnya menjadi warga terhormat?  Ingatlah, Anakku! Dunia ini disediakan oleh Allah untuk semua makluk-Nya.  Dunia ini juga cukup untuk memenuhi kebutuhan semua penghuninya.  Akan tetapi, dunia ini akan sempit dan terlalu sedikit, bahkan tidak cukup untuk menyejahterakan manusia, hanya karena keserakahan beberapa orang manusia."





Kisah Sa`id bin Amir




                Khalifah Umar bin Khathab mengangkat Sa`id bin Amir bin Huzaim sebagai gubernur kota Himsh.
"Wahai penduduk Himsh, apa pendapat kalian tentang Sa`id bin Amir?" tanya Umar
"Kami mengadukan empat perkara. Dia selalu keluar rumah untuk menemui kami setelah hari sudah siang.  Dia juga tidak mau menemui seorang jika malam hari.  Terus, sehari dalam satu bulan, dia tidak keluar rumah untuk menemui kami."

               "Apa yang keempat?"  tanya Umar
               "Beberapa hari ini, dia seperti orang yang akan meninggal, "Jawab mereka
Kemudian Umar bun Khathab meminta Sa`id bin Amir untuk menjelaskan keempat perbuatannya tersebut.
"Demi Allah, sebenarnya aku tidak suka mengungkapkan hal ini. Harap diketahui, keluragaku tidak mempunyai pembantu.  Sehingga, aku sendiri yang harus menggiling adonan roti. Aku duduk sebentar hingga adonan itu menjadi lumat, lalu membuat roti, mengambil wudhu, dan baru kemudian aku keluar rumah untuk menemui mereka.

               "Kedua, aku menjadikan siang hari bagi mereka dan menjadikan malam hari bagi Allah SWT, "jawab Sa`id.    Ketiga, aku tidak mempunyai seorang pembantu yang mencuci pakaianku. Disamping itu, aku pun tidak mempunyai pakaian pengganti yang lain. "Maksudnya, pada hari itu sa`id mencuci pakaian satu-satunya.
               "Keempat, aku pernah menyaksikan terbunuhnya Hubaib Al-Anshary di Makkah.  Aku melihat bagaimana kaum Quraisy mengiris-iris Hubaib yang lebih mengorbankan dirinya demi Rasulullah, lalu mereka membawa tubuhnya ke tiang gantungan.  Oleh karena itulah, barangkali keadaanku akhir-akhir ini seperti orang yang akan meninggal dunia, "jawab Sa`id

               Setelah itu Umar memberinya 1.000 dinar, "pergunakanlah uang  ini untuk menunjang tugas-tugasmu!" katanya
              "Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kecukupan kepada kita atas tugas yang engkau emban ini," kata istri sa`id
               "Apakah engkau mau yang lebih baik lagi? Kita akan memberikan uang ini keoada orang yang lebih membutuhkannya daripada kita."
                "Boleh, "jawab istrinya

             Kemudian Sa`id memanggil salah seorang angota keluarganya yang bisa dipercaya.  lalu, dia memasukkan uang ke dalam beberapa bungkusan sambil berkata,  "Bawalah bungkusan ini dan berikan kepada janda keluarga Fulan, orang miskin keluarga fulan, dan orang yang terkena musibah keluarga Fulan! Kalau sisanya, segera disimpan!"
            "Mengapa engkau tidak membeli seorang pembantu?  Lalu, untuk apa sisa uang itu?" tanya istrinya
            "Sewaktu-waktu, tentu akan datang orang yang lebih membutuhkan uang itu, "jawab Sa`id





Umar yang Sederhana




                  Ketika Umar bin Khathab menjadi khalifah bagi kaum Muslim, dia menetapkan persyaratan ketat bagi aparat pemerintahannya.  Saat pengangkatan seorang gubernur, calon gubernur itu harus menandatangani pernyataan yang mensyaratkan dia harus mengenakan pakaian sederhana, makan roti kasar, dan setiap orang yang ingin mengadukan sesuatu kepadanya, orang itu bebas menghadapnya setiap saat.

                 Pada suatu hari, Gubernur Kufah datang mengunjungi Khalifah Umar di tempat tinggalnya.  Saat itu, khalifah sedang makan.  Ketika sang gubernur menyaksikan makanannya yang terdiri atas roti gersh dan minyak zaitun, dia pun bertanya,  "Wahai Amirul Mukminin, mengapa Tuan tidak makan roti dari gandum?"

                Dengan agak tersinggung dan nada murung,  Khalifah Umar balik bertanya,  "Apakah kamu pikir setiap orang di wilayah kekhalifahanku yang luas ini bisa mendapatkan gandum?"
                "Tidak, "jawab gubernur
                "Lalu, bagaimana aku bisa makan roti dari gandum?  Kecuali, jika itu bisa didapat dengan mudah oleh seluruh rakyatku,  "tambah Umar
Gubernur itupun merasa malu kepada Khalifah Umar bin Khatahab yang membiasakan hidup sederhanan.